Thursday, January 17, 2008

Mencari Cinta Yang Sejati

Kiriman : bayu eko fitri yanto



prayoga.net - 1. Pendahuluan


Cinta adalah satu kata yang tidak asing lagi di telinga kita. Apalagi di
kalangan remaja, karena sudah menjadi anggapan umum bahwa cinta identik dengan
ungkapan rasa sepasang sejoli yang dimabuk asmara. Ada yang mengatakan cinta
itu suci, cinta itu agung, cinta itu indah dan saking indahnya tak bisa
diungkapkan dengan kata-kata, hanya bisa dirasakan dll. Bahkan Jalaludin Rumi
menggambarkan saking indahnya cinta, setan pun berubah menjadi bidadari. Yang
jelas karena cinta, banyak orang yang merasa bahagia namun sebaliknya karena
cinta banyak pula orang yang dibuat tersiksa dan merana. Cinta dapat membuat
seseorang menjadi sangat mulia, dan cinta pula yang menjadikan seseorang
menjadi sangat tercela.

Kita tahu bagaimana kecintaan Khadijah ra kepada Rasulullah saw yang rela
mengorbankan apa saja yang dimilikinya dengan perasaan bahagia demi perjuangan
sang kekasih yang menjadikannya mulia. Sebaliknya ada pemudi yang mengorbankan
kehormatannya demi untuk menyenangkan sang kekasih yang dia lakukan atas nama
cinta. Atau ada remaja yang menghabiskan nyawanya dengan baygon hanya karena
cinta. Cinta yang demikian yang membawanya kepada kehinaan.

Lalu, apa sebenarnya makna daripada cinta? Benarkah cinta hanyalah sepenggal
kata namun mengandung sejuta makna? Atau pendapat para filosof bahwa makna
cinta tergantung siapa yang memandang? Rupanya tepat seperti uangkapan Ibnu
Qayyim Al Jauziah tentang cinta, bahwasanya, “Tidak ada batasan tentang cinta
yang lebih jelas daripada kata cinta itu sendiri.”

Ada pun kata cinta itu sendiri secara bahasa adalah kecenderungan atau
keberpihakan. Bertolak dari sini cinta dapat didefinisikan sebagai sebuah
gejolak jiwa dimana hati mempunyai kecenderungan yang kuat terhadap apa yang
disenanginya sehingga membuat untuk tetap mengangankannya, menyebut namanya,
rela berkorban atasnya dan menerima dengan segenap hati apa adanya dari yang
dicintainya serasa kurang sekalipun, dan ia tumpahkan dengan kata-kata dan
perbuatan.


2. Pandangan Islam terhadap Cinta


Cinta dalam pandangan Islam adalah suatu hal yang sakral. Islam adalah agama
fitrah, sedang cinta itu sendiri adalah fitrah kemanusiaan. Allah telah
menanamkan perasaan cinta yang tumbuh di hati manusia. Islam tidak pula
melarang seseorang untuk dicintai dan mencintai, bahkan Rasulullan menganjurkan
agar cinta tersebut diutarakan.

“Apabila seseorang mencintai saudaranya maka hendaklah ia memberitahu bahwa ia
mencintainya.” (HR Abu Daud dan At-Tirmidzy).

Seorang muslim dan muslimah tidak dilarang untuk saling mencintai, bahkan
dianjurkan agar mendapat keutamaan-keutamaan. Islam tidak membelenggu cinta,
karena itu Islam menyediakan penyaluran untuk itu (misalnya lembaga pernikahan)
dimana sepasang manusia diberikan kebebasan untuk bercinta.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untukmu
pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tentram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa cinta dan kasih
sayang,…”(Ar-Ruum: 21)

Ayat di atas merupakan jaminan bahwa cinta dan kasih sayang akan Allah
tumbuhkan dalam hati pasangan yang bersatu karena Allah (setelah menikah). Jadi
tak perlu menunggu “jatuh cinta dulu” baru berani menikah, atau pacaran dulu
baru menikah sehingga yang menyatukan adalah si syetan durjana (na’udzubillahi
min zalik). Jadi Islam jelas memberikan batasan-batasan, sehingga nantinya
tidak timbul fenomena kerusakan pergaulan di masyarakat.

Dalam Islam ada peringkat-peringkat cinta, siapa yang harus didahulukan/
diutamakan dan siapa/apa yang harus diakhirkan. Tidak boleh kita menyetarakan
semuanya.

“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tandingan-tandingan selain
Allah; Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun
orang-orang beriman amat sangat cintanya kepada Allah…” (Al-Baqarah: 165)

Menurut Syaikh Ibnul Qayyim, seorang ulama di abad ke-7, ada enam peringkat
cinta (maratibul-mahabah), yaitu:
1. Peringkat ke-1 dan yang paling tinggi/paling agung adalah tatayyum, yang
merupakan hak Allah semata.
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Rabbul
‘alamiin.”
“Dan orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah (S.2: 165)
Jadi ungkapan-ungkapan seperti: “Kau selalu di hatiku, bersemi di dalam qalbu”
atau “Kusebutkan namamu di setiap detak jantungku,” “Cintaku hanya untukmu,”
dll selayaknya ditujukan kepada Allah. Karena Dialah yang memberikan kita
segala nikmat/kebaikan sejak kita dilahirkan, bahkan sejak dalam rahim ibu…
Jangan terbalik, baru dikasih secuil cinta dan kenikmatan sama si ‘do’i’ kita
sudah mau menyerahkan jiwa raga kepadanya yang merupakan hak Allah. Lupa kepada
Pemberi Nikmat, “Maka nikmat apa saja yang ada pada kalian, maka itu semua dari
Allah (S. 2: 165).
2. Peringkat ke-2; ‘isyk yang hanya merupakan hak Rasulullah saw. Cinta yang
melahirkan sikap hormat, patuh, ingin selalu membelanya, ingin mengikutinya,
mencontohnya, dll, namun bukan untuk menghambakan diri kepadanya.
“Katakanlah jika kalian cinta kepada Allah, maka ikutilah aku (Nabi saw) maka
Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali Imran: 31)
3. Peringkat ke-3; syauq yaitu cinta antara mukmin dengan mukmin lainnya.
Antara suami istri, anatar orang tua dan anak, yang membuahkan rasa mawaddah wa
rahmah.
4. Peringkat ke-4; shababah yaitu cinta sesama muslim yang melahirkan ukhuwah
Islamiyah.
5. Peringkat ke-5; ‘ithf (simpati) yang ditujukan kepada sesama manusia. Rasa
simpati ini melahirkan kecenderungan untuk menyelamatkan manusia, berdakwah,
dll.
6. Peringkat ke-6 adalah cinta yang paling rendah dan sederhana, yaitu
cinta/keinginan kepada selain manusia: harta benda. Namun keinginan ini sebatas
intifa’ (pendayagunaan/pemanfaatan).



3. Hubungan Cinta dan Keimanan


Dalam Islam cinta dan keimanan adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Cinta
yang dilandasi iman akan membawa seseorang kepada kemuliaan sebaliknya cinta
yang tidak dilandasi iman akan menjatuhkan seseorang ke jurang kehinaan. Cinta
dan keimanan laksana dua sayap burung. Al Ustadz Imam Hasan Al Banna mengatakan
bahwa “dengan dua sayap inilah Islam diterbangkan setinggi-tingginya ke langit
kemuliaan.” Bagaimana tidak, jikalau iman tanpa cinta akan pincang, dan cinta
tanpa iman akan jatuh ke jurang kehinaan. Selain itu iman tidak akan terasa
lezat tanpa cinta dan sebaliknya cinta pun tak lezat tanpa iman. Imam Ahmad
meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah ra, dari Nabi saw:
“Barang siapa ingin memperoleh kelezatan iman, hendaklah ia mencintai seseorang
hanya karena Allah swt.” (riwayat Imam Ahmad, dari Abu Hurairah).

Tidak heran ketika ‘Uqbah bin Al Harits telah bercerai dnegan istri yang sangat
dicintainya Ummu Yahya, atas persetujuan Rasulullah saw hanya karena pengakuan
seorang wanita tua bahwa ia telah menyusukan pasangan suami istri itu di saat
mereka masih bayi. Allah mengharamkan pernikahan saudara sesusuan. Demikian
pula kecintaan Abdullah bin Abu Bakar kepada istrinya, yang terkenal
kecantikannya, keluhuran budinya dan keagungan akhlaknya. Ketika ayahnya
mengamati bahwa kecintaannya tersebut telah melalaikan Abdullah dalam berjihad
di jalan Allah dan memerintahkan untuk menceraikan istrinya tsb. Pemuda
Abdullah memandang perintah tsb dengan kaca mata iman, sehingga dia rela
menceraikan belahan jiwanya tsb demi mempererat kembali cintanya kepada Allah.

Subhanallah, pasangan tsb telah bersatu karena Allah, saling mencinta karena
Allah, bahkan telah bercinta karena Allah, namun mereka juga rela berpisah
karena Allah. Cinta kepada Allah di atas segalanya. Bagaimana halnya dengan
pasangan yang terlanjur jatuh cinta, atau yang ‘berpacaran’ atau sudah bercinta
sebelum menikah? Hanya ada dua jalan; bersegeralah menikah atau berpisah karena
Allah, niscaya akan terasa lezat dan manisnya iman. Dan janganlah mencintai ‘si
dia’ lebih dari pada cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.

Dari Anas ra, dari nabi saw, beliau bersabda:
“Ada tiga hal dimana orang yang memilikinya akan merasakan manisnya iman, yaitu
mencintai Allah dan rasul-Nya melebihi segala-galanya, mencintai seseorang
hanya karena Allah, dan enggan untuk menjadi kafir setelah diselamatkan Allah
daripadanya sebagaimana enggannya kalau dilempar ke dalam api.” (HR. Bukhari
dan Muslim).

Dari Abu Hurairah ra, rasulullah saw bersabda:
“Demi zat yang jiwaku ada dalam genggaman-Nya, kamu sekalian tidak akan masuk
surga sebelum beriman, dan kamu sekalian tidaklah beriman sebelum saling
mencintai….” (HR Muslim)



4. Cinta Kepada Allah, Itulah yang Hakiki


Cinta bagaikan lautan, sungguh luas dan indah. Ketika kita tersentuh tepinya
yang sejuk, ia mengundang untuk melangkah lebih jauh ke tangah, yang penuh
tantangan, hempasan dan gelombang dan siapa saja ingin mengarunginya. Namun
carilah cinta yang sejati, di lautan cinta berbiduk ‘taqwa’ berlayarkan ‘iman’
yang dapat melawan gelombang syaithan dan hempasan nafsu, insya Allah kita akan
sampai kepada tujuan yaitu: cinta kepada Allah, itulah yang hakiki, yang kekal
selamanya. Adapun cinta kepada makhluk-Nya, pilihlah cinta yang hanya
berlandaskan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Bukan karena bujuk rayu
setan, bukan pula karena desakan nafsu yang menggoda.
Cintailah Allah, berusahalah untuk menggapai cinta-Nya. Menurut Ibnu Qayyim,
ada 10 hal yang menyebabkan orang mencintai Allah swt:
1. Membaca Al-Qur’an dan memahaminya dengan baik.
2. Mendekatkan diri kepada Allah dengan shalat sunat sesudah shalat wajib.
3. Selalu menyebut dan berzikir dalam segala kondisi dengan hati, lisan dan
perbuatan.
4. Mengutamakan kehendak Allah di saat berbenturan dengan kehendak hawa nafsu.
5. Menanamkan dalam hati asma’ dan sifat-sifatnya dan memahami makna.
6. Memperhatikan karunia dan kebaikan Allah kepada kita.
7. Menundukkan hati dan diri ke haribaan Allah.
8. Menyendiri bermunajat dan membaca kitab sucinya di waktu malam saat orang
lelap tidur.
9. Bergaul dan berkumpul bersama orang-orang soleh, mengambil hikmah dan ilmu
dari mereka
10. Menjauhkan sebab-sebab yang dapat menjauhkan kita daripada Allah.



5. Penutup



Saling mencintailah karena Allah agar bisa mendapatkan kecintaan Allah. Dalam
hadits Qudsi Allah berfirman:
“Cinta-Ku harus Ku-berikan kepada orang-orang yang saling mencintai karena-Ku,
Cinta-Ku harus Ku-berikan kepada orang-orang yang saling berkorban karena-Ku,
dan Cinta-Ku harus Ku-berikan kepada orang-orang yang menyambung hubungan
karena-Ku.”

Hiduplah di bawah naungan cinta dan saling mencintailah karena keagungan-Nya,
niscaya akan mendapatkan naungan Allah, yang pada hari itu tidak ada naungan
selain naungan-Nya.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda:
“Pada hari kiamat Allah berfirman: ‘Dimanakah orang-orang yang saling mencintai
karena keagungan-Ku? Pada hari yang tiada naungan selain naungan-Ku ini, Aku
menaungi mereka dengan naungan-Ku.” (HR. Muslim).

Bahkan Allah memuliakan mereka yang saling mencintai dan bersahabat karena
Allah, yang membuat para nabi dan syuhada merasa iri terhadap mereka mereka.
Nasa’i meriwayatkan dengan sanad dari Abu Hurairah ra, Rasulullah bersabda:
“Di sekeliling ‘Arsy, terdapat mimbar-mimbar dari cahaya yang ditempati oleh
suatu kaum yang berpakaian dan berwajah cahaya pula. Mereka bukanlah para nabi
atau syuhada, tetapi para nabi dan syuhada merasa iri terhadap mereka.” Para
sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, beritahulah kami tentang mereka!” Beliau
bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai, bersahabat, dan
saling mengunjungi karena Allah.”

“Ya Allah, kurniakanlah kepada kami Cinta terhadap-Mu dan Cinta kepada mereka
yang mencintai-Mu, dan apa saja yang mendekatkan kami kepada Cinta-Mu, dan
jadikanlah Cinta-Mu itu lebih berharga bagi kami daripada air yang sejuk bagi
orang yang dahaga.”

No comments:

PESEN'S